Assalamu'alaikum,
Hai Keluarga Indonesia, semoga sehat dan berbahagia selalu. Bismillah... pada tulisan ini saya ingin berbagi kenangan saat merantau ke negeri tirai bambu.
* * *
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Ketika kembali memandang foto-foto di Beijing, rasanya seperti tidak nyata, diulang kembali tentu mustahil. Satu tahun kurang 2 minggu kami sekeluarga menapaki suasana baru dalam kehidupan di tahun 2019. Walaupun pada prakteknya kami masih bolak-balik ke tanah air.
Berbulan-bulan saya menanti izin tinggal agar tidak selalu terkekang dengan jatah menetap sesuai visa turis. Alhamdulillah, akhirnya di bulan Agustus 2019, suami lebih dahulu memperoleh izin tinggal di Beijing dan satu bulan kemudian di awal bulan September saya dan Gavin menyusul memperoleh izin tersebut. Tahap pertama stay permit berlaku untuk jangka waktu 6 bulan.
Tiba-tiba dua minggu kemudian Papi Gavin memberi tahu saya bahwa manajemen kantor memutuskan Ia akan kembali ditugaskan di Jakarta secepatnya. Maka awal bulan Oktober kami harus bersiap kembali menetap di Indonesia. Hiks, mendengar kabar itu patah hati rasanya. Ibarat pacaran lagi sayang-sayangnya lalu dipaksa putus.
Baca juga: Merasakan Tinggal di Beijing
Baca juga: Merasakan Tinggal di Beijing
Pupus sudah kebanggaan memiliki stay permit. Begitu banyak bayangan cita-cita yang ingin saya realisasikan. Semisal dapat bertransaksi non tunai dengan dompet elektronik We-Chat dan Alipay, berbelanja online murah meriah di Taobao (*e-commerce Cina seperti Shopee), memesan Di-di sendiri (taksi online) juga menikmati sejuknya udara musim gugur setelah melewati musim panas yang menyiksa. Dan di atas semua itu buyarlah perjuangan hati di mana saya sudah berdamai atas hijrah ini.
* * *
Kilas balik kedatangan kami pertama kali ke ibu kota Cina tersebut yaitu bulan November 2018, musim dingin erat menyambut. Proses penyesuaian yang cukup sulit dan menjadi pengalaman berharga.
Setiap perantau pasti memiliki masa adaptasinya masing-masing. Antara saya dan suami, belum tentu sama yang dirasakan. Begitupula antara saya dengan ibu-ibu lainnya ataupun dengan para mahasiswa. Apa yang sulit bagi saya mungkin saja dinilai ringan bagi orang lain, pun sebaliknya.
Setiap perantau pasti memiliki masa adaptasinya masing-masing. Antara saya dan suami, belum tentu sama yang dirasakan. Begitupula antara saya dengan ibu-ibu lainnya ataupun dengan para mahasiswa. Apa yang sulit bagi saya mungkin saja dinilai ringan bagi orang lain, pun sebaliknya.
Baca juga: Naik Subway di Beijing
Fase yang terberat adalah melalui masa lockdown dalam tanda kutip. Lockdown pertama yang saya alami bila membandingkankan dengan momen lockdown yang dirasakan sekarang karena pandemi Korona. Lockdown buat saya di sana artinya masa di mana saya merasa terkurung, kedinginan dan tidak punya teman. Susah makan, susah bicara serta susah keluar tempat tinggal.
Lambat laun tanpa disadari keadaan itu mempengaruhi psikologis saya. Merasa sedih, seolah-olah menjadi orang paling sendiri, frustasi menghadapi Gavin, juga berubah rewel pada suami, sering marah dan banyak protes. Menghadapi Gavin yang turut menjadi emosional cukup membuat saya pusing. Ia terus-terusan merengek minta pulang dan mudah marah. Karena Gavin memang belum menerima dirinya mendadak harus pindah sekolah.
Setelah beberapa bulan kemudian situasi masih sama. Bolak-baliknya kami ke Indonesia ternyata membuat Gavin labil. Kekecewaannya belum juga sirna, "Kalau kita bisa pulang, ya sudah nggak usah kembali lagi ke Beijing", begitu kira-kira perasaannya.
Efek pada saya dan Gavin sebetulnya sama. Apa yang menjadi penyebabnya? karena kami tidak bergaul, tidak dapat mengekspresikan diri, dan terkunci di dalam apartemen. Kami tidak dapat keluar karena cuaca terlalu dingin, tidak menguasai bahasa Mandarin, serta tidak ada tempat yang dituju. Semuanya tersumbat di kepala menjadi tekanan batin, halu dan depresi. Bukan hanya kesedihan, terkadang ada saja tingkah aneh-aneh yang saya lakukan.
Ada masanya juga saat visa habis, waktunya tidak bersamaan dengan tenggat visa papi. Lalu kami harus berpisah beberapa saat antara Bekasi dan Beijing. Kenapa nggak LDR saja? Kan papi juga masih bolak-balik, mungkin teman-teman akan berpikiran yang sama. Kenyataannya tidak semudah yang diucapkan.
Saya menjalani LDR tipis-tipis saat salah satu dari kami harus pulang untuk memperbaharui visa. Terpisah antara satu sampai dua minggu. Paling lama sekitar satu bulan. Alhasil berat bagi saya ketika hanya berdua buah hati, menghadapinya sendiri dengan masalah di atas. Tambahan lagi setiap kali pulang ke Indonesia atau kembali ke rantau harus mengurus koper, persediaan makanan serta menjaga kebersihan rumah di dua negara ketika akan ditinggal. Lelah.
Demikian pula halnya dalam berkomunikasi. Dengan padatnya kesibukan suami di sana, komunikasi yang kurang lancar kerap membuat hati lagi-lagi terbawa perasaan. Papi juga mengalami kendala dalam mengurus kebutuhan sehari-hari saat kami berjauhan, cukup kewalahan. Saya simpulkan LDR itu berat. Kalau begitu tidak mengapa sering bolak-balik asalkan masih bisa bersama-sama.
Tak terasa, perlahan kesedihan itu sirna jua. Setelah Gavin masuk sekolah, Ia lebih ceria. Kami berkenalan dengan beberapa orang teman. Saya pun mulai membuat janji temu dan kawan semakin bertambah. Kami bepergian mengunjungi tempat-tempat menarik di Beijing juga berbagi informasi penting.
Akhir cerita semua berjalan menjadi semakin ringan. Bulan demi bulan berganti, merasakan keindahan alam dalam 4 musim yang berbeda adalah nikmat dari-Nya, memiliki teman rasa keluarga adalah anugerah, menjalani pergolakan batin yang jatuh bangun adalah bekal hidup. Kami sangat mensyukuri akan petualangan yang Allah berikan, Alhamdulillahirabbil'alamin.
'......dan pada titik tersebut sang pencipta kembali menggoreskan cerita lainnya. Saatnya kami kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dear Beijing, selamat tinggal, titip jejak kakiku yang pernah menari di sana. Wassalam.'
Bersambung.... Daftar Persiapan Merantau ke Beijing
Love,
deravee